Garis Finish dan Lomba (Lomba) yang Kita Buat Sendiri

Akhir-akhir ini, komik Toby Morris dan obrolan-obrolan tentang privilege mulai mencuat kembali. Lalu ada satu teman yang bilang bahwa nada komiknya mirip dengan cerita saya di tulisan sebelumnya (yang ini, klik aja). Tulisan tersebut diinspirasi oleh sebuah game, kalau mau lihat ilustrasi game-nya bisa klik video disini.

Beberapa teman lain juga sempat menulis dengan nada serupa dengan gaya tulis yang berbeda. Pada intinya, isu kesenjangan memang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari; yang mungkin semakin relavan hingga komik Toby ini menjadi ramai dibicarakan lagi.

Tulisan saya terakhir memang mencuplik topik kesenjangan sosial yang dibalut dalam sebuah game di salah satu sesi kuliah. Intinya, saya mencoba bercerita singkat tentang mengapa kesenjangan itu muncul; yakni sebagai derivat atas keberagaman yang terjadi di muka bumi atas akses sumber daya alam yang tersebar secara geografis. Saya analogikan itu ke dalam kondisi dimana kita tidak dalam satu garis START yang sama, karena latar diambil adalah permainan adu lari.

Kesenjangan sosial, yang menciptakan privilege bagi sebagian orang, ternyata bisa diceritakan dalam perspektif lain. Cerita ini diinspirasi oleh obrolan siang hari di kampus, tentang sebuah game yang populer dalam menjelaskan privilege secara sederhana, melempar kertas ke tempat sampah.

privilege-lesson-6__605

Ilustrasi gambar diperoleh dari tulisan yang sama

Permainan ini dilakukan di dalam kelas yang bershaf-shaf dengan satu tempat sampah yang disimpan di depan kelas. Posisi relatif setiap siswa terhadap tempat sampah pasti berbeda-beda, menggambarkan kesenjangan terhadap akses. Kondisi ini memberikan situasi bahwa orang-orang terdepan di kelas memiliki privilege dibandingkan dengan orang-orang di belakangnya.

Ketika semua orang disuruh melempar bola kertas, tentu saja peluang orang di depan untuk memasukkan bola tersebut lebih besar daripada yang di belakang. Orang-orang di belakang akan lebih banyak protes karena kesulitan yang ia hadapi; perlu tenaga ekstra, akurasi yang lebih, dan waktu yang lebih banyak untuk membidik bola supaya langsung masuk ke tempat sampah.

Tetapi, ternyata tidak semua orang yang memiliki ‘privilege‘ bisa melempar bola masuk ke tempat sampah. Mereka adalah golongan-golongan orang yang tidak mampu memanfaatkan privilegenya. Dan, ada pula orang-orang tanpa privilege yang bisa memasukkan bola dengan sempurna dari belakang. Mereka adalah golongan orang dengan determinasi tinggi. Kita tahu contoh-contoh orang tersebut di kehidupan sehari-hari – terutama golongan yang kedua.

Seperti inilah kesenjangan ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari. Akses finansial, pendidikan tinggi, teknologi murah, pangan yang cukup, air bersih, (dll.) adalah privilege-privilege yang dimiliki oleh segelintir orang dan menjadi sesuatu yang tidak dimiliki oleh segelintir orang lainnya. Seperti kesempatan, adalah pilihan mereka untuk memanfaatkannya atau tidak.

Tetapi, tiba-tiba saya menjadi berpikir sesuatu hal yang lain tentang ini. Kesempatan  (atau privilege) untuk berada di posisi yang lebih dekat dengan tempat sampah tidak menjamin orang tersebut ‘mau’ melempar bola ke tempat sampah, karena bisa jadi tujuannya bukan itu. Malah tujuannya bisa saja adalah melempar bola ke tempat sampah yang ada di belakang kelas. 

Saya analogikan dengan seorang lulusan perguruan tinggi negeri yang lulus dengan predikat cumlaude, tentu saja ia punya privilege untuk bisa bersaing lebih mudah untuk menjadi ASN melalui jalur khusus cumlaude. Tetapi, tidak semua orang mau menggunakan itu karena memang menjadi ASN bukan tujuannya setelah lulus.

Kasus lain misalnya, lulusan cumlaude tersebut juga diberi privilege lain berupa kemampuan bahasa asing yang mumpuni dan ditunjang dengan kecukupan finansial sehingga sangat mudah untuknya mendaftarkan diri di sekolah pascasarjana di luar negeri – baik menggunakan beasiswa atau tidak. Tetapi, jika ia memilih untuk bekerja di perusahaan multinasional lintas bidang keilmuan tidak salah juga kan?

Contoh kecil lain seperti anak dari keluarga mampu yang tidak bisa masuk perguruan tinggi top dalam negeri karena tidak lulus seleksi – sekalipun ia mampu membayar bimbel terbaik yang ada di kotanya – menunjukkan bahwa privilege itu sangat kontekstual. Orang lain melihat kecukupan finansialnya sebagai privilege, padahal ‘orang mampu’ tersebut malah melihat orang yang datang dari golongan kurang mampu memiliki privilege berupa motivasi dan kemampuan akademik yang lebih tinggi dari dirinya.

Contoh-contoh tersebut bisa kita ambil dari kehidupan sehari-hari di sekitar. Jika boleh saya berasumsi, selain kita tidak berada dalam garis START yang sama, kita juga tidak menuju garis FINISH yang sama. Walau kesenjangan itu ada, sejatinya kita sedang berlomba di lomba (lomba) yang kita buat sendiri, yang kita tentukan sendiri garis FINISH-nya.

Atau mungkin kita tidak sedang berlomba apa-apa?

Wallahu a’lam.

Leave a comment